Jokowi & George Washington
Gambar wajah Soekarno
bertebaran di banyak pecahan mata uang yang pernah terbit dan beredar di
Indonesia. Sekarang, wajahnya ada di lembar pecahan uang Rp 100.000, nominal
terbesar dari denominasi rupiah yang beredar.
Sama-sama pendiri
negara seperti Soekarno, gambar wajah George Washington "diabadikan"
di pecahan 1 dollar AS, uang kertas dengan nominal terkecil negara Paman Sam.
Adakah filosofinya?
Kepada teman, seorang
Amerika Serikat pernah mengatakan, "Amerika Serikat dibangun dari setiap 1
dollar AS. Penghargaan tertinggi bagi pendiri negara adalah terus menjadikannya
fondasi negeri ini. Setinggi apa bangunan yang bisa Anda bangun, bergantung
pada seberapa kuat fondasinya."
Jika betul begitu
filosofi 1 dollar, AS menempatkan Washington di tempat yang seharusnya, yang
ideal. Di atas fondasi itu, AS membangun etika dan etos, seperti pada puisi
"The New Colossus" karangan Emma Lazarus di bagian kaki Liberty. AS
bisa dan pernah jatuh, tetapi tak kehilangan jati diri karena tahu dari mana
mereka berasal.
Bagaimana dengan
Indonesia?
Sebagai negara,
Indonesia juga punya fondasi. Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika adalah fondasi
itu, tetapi perlahan dan tanpa sadar "dikhianati" anak bangsa
sendiri. Jadilah bangsa Indonesia sebagai "bangsa tanpa identitas".
Apa buktinya? Indonesia
sejak dulu kala dikenal sebagai negara agraris, tetapi hari ini Indonesia
adalah negeri agraris yang terus saja mengimpor beras. Indonesia adalah negeri
subur dan kaya hasil bumi, ibarat potongan lirik lagu lawas "...tongkat
dan batu pun jadi tanaman...", tetapi hari ini justru ribuan anak negeri
"diekspor" menjadi tenaga kerja di luar negeri.
Setiap bangsa besar
pasti bangga pada bahasanya. Namun apa yang terpampang hari ini di Indonesia?
Meski mengaku berbahasa satu, bahasa Indonesia, kalangan terpelajar Indonesia
terlalu kerap menulis kata "menunjukkan" dengan
"menunjukan" tanpa tahu apa yang salah.
Dalam keseharian, nilai
sebagai bangsa beradab juga perlu dipertanyakan ulang. Hak pejalan kaki
dianggap biasa saja ketika dirampas para pedagang yang menggelar dagangan.
Sebagai bangsa Timur, kekerasan dan hinaan pun terlalu sering terlontar dalam
percakapan.
Anak-anak Indonesia
sekarang fasih berbahasa Inggris, tetapi tak tahu lagi arti pepatah
"rawe-rawe rantas malang-malang putung". Begitu juga dari beragam
tontonan anak-anak seolah bersahabat akrab dengan Superman, tetapi sama sekali
tak kenal siapa Werkudara apalagi Buya Hamka.
Lucunya, bangsa ini
berteriak dan mengaku marah, ketika negara tetangga mengklaim batik sebagai
bagian budaya mereka. Sementara itu, anak-anak Indonesia lebih kenal Charles
Dickens pada saat mereka hanya melongo ketika disodorkan nama Ranggalawe.
Tantangan Jokowi
Merapat ke Jakarta, ibu
kota Indonesia, ada banyak pekerjaan rumah yang menghampar di muka Gubernur DKI
Jakarta Joko Widodo. Kota ini adalah gambaran nyata banyaknya hal mendasar yang
tak diletakkan pada tempatnya. Tantangan bagi Jokowi, nama panggilan Joko
Widodo adalah mengembalikan banyak hal dasar yang selama ini biasa dilanggar
dan telah menjadi hal biasa pula.
Misalnya, mengembalikan
fungsi waduk sebagai tempat penampungan air, bukan malah menjadi kubangan air
bersampah dengan permukiman mengitarinya. Begitu juga mengembalikan fungsi
jalan yang kendaraan-kendaraannya berlalu lintas mengalir, bukan macet total
atau terhambat padatnya pedagang di kiri-kanannya.
Tak terkecuali fungsi
kehadiran sebuah Monumen Nasional, yang sepertinya sudah dilupakan banyak
pengampu kebijakan. Melacak sejarahnya, Monumen Nasional seharusnya adalah
pusat kegiatan dan hiburan untuk rakyat, memberikan ruang untuk budaya lokal
mendapatkan panggung yang selayaknya. Maka, pergelaran drama musikal Ariah
ibarat titik embun di tengah "kegersangan" Monumen Nasional di masa
sebelumnya.
Jokowi tahu tak ada kondisi
ideal untuk semua orang pada waktu yang sama. Namun, Jokowi juga tahu, ia harus
tetap berpikir di tataran ideal dan melakukan yang seharusnya ia lakukan.
Setidaknya, itu tampak dari pendekatan Jokowi yang selalu berusaha
mengakomodasi semua pihak.
Ketika ingin melakukan
normalisasi waduk, Jokowi juga menyiapkan rumah susun untuk merelokasi warga
bantaran waduk. Ketika merencanakan penertiban pedagang kaki lima (PKL), Jokowi
juga menyediakan lokasi binaan. Kasus Waduk Pluit adalah contoh yang bisa dikaji.
Mustahil Senangkan
Semua Orang
Tidak berarti setiap
kebijakan Jokowi disambut senyum dan hujan pujian dari para pihak yang
berkepentingan. Penertiban pedagang kaki lima dan parkir liar dapat menjadi
contoh, termasuk kekecewaan orangtua murid dan para siswa SMPN 14, Jakarta
Timur.
Namun, apakah berarti
ketika Joko Widodo dan jajarannya menggulirkan kebijakan terkait PKL, tukang
parkir, dan sekolah itu, maka dia mengkhianati pemilihnya? Mungkin manfaat
lebih besar dari kebijakan tersebut harus dipilih sebagai kacamata untuk
memandang persoalannya.
Jokowi tetaplah hanya
manusia biasa. Sebagai manusia biasa, tak mungkin dapat menyenangkan semua
orang. Bahkan Tuhan Yang Maha Kuasa sekalipun, dengan segala ke-Maha
Kuasa-an-Nya kerap kali membuat orang-orang menggerutu karena
"kebijakan"-Nya.
Orang Amerika pernah
mencoba menggambarkan betapa tak semua orang bisa disenangkan sebaik apa pun
layanan yang didapat, lewat film Bruce Almighty. Film fiksi ini mengangkat
cerita bahwa pada suatu ketika Tuhan meminjamkan kekuatannya kepada tokoh Bruce
yang diperankan Jim Carrey.
Dengan kekuatan itu,
Bruce berusaha menyenangkan semua orang pada waktu yang sama. Apa yang terjadi?
Kekacauan! Pada akhirnya Bruce pun meminta Tuhan mengambil kembali kekuatan
yang dititipkan kepadanya, dan Bruce memilih kembali menjalani kehidupan normal
sesuai takdir sebagai manusia.
Takdir
Berkaca dari semua
cerita dan data di atas, barangkali sekaranglah saatnya untuk mengembalikan
banyak hal sesuai "takdir" keberadaannya. Jalanan mestinya memang
bukan tempat berjualan, maka sudah waktunya pedagang kaki lima mendapatkan
tempat berdagang yang seharusnya.
Sudah seharusnya pula
waduk dan bantaran sungai terbebas dari hunian di tepiannya. Solusi yang
dibutuhkan untuk warga yang selama ini bermukim di pinggiran waduk dan sungai
pun telah disiapkan, bernama rumah susun. Harapannya, anggaran Jakarta tak
hanya habis menangani banjir yang selalu terjadi tiap tahun atau untuk bantuan
pada korban banjir.
Bila daerah resapan dan
aliran air dibenahi kembali, dana yang selama ini diserap untuk banjir akan
lebih bermanfaat ketika dapat dipakai untuk meningkatkan fasilitas pendidikan
dan kesehatan. Tanpa ada daerah resapan yang memadai dan aliran air yang
lancar, apa pun proyek banjir yang dikerjakan tak akan pernah menjadi solusi
optimal.
Tentu, tidak pernah ada
yang benar-benar mewujud ideal. Namun kesadaran itu tak boleh menjadi
legitimasi untuk merusak tatanan. Tidak ada yang sempurna dan itulah alasan
kenapa selalu ada bagian orang lain dalam rezeki setiap orang, yang paling
halal sekalipun.
Sekarang saatnya
bercermin bersama, jangan-jangan rezeki yang selama ini dianggap halal ternyata
berasal dari "kesusahan" orang lain. Jangan-jangan setiap pecahan
uang bergambar Soekarno dalam genggaman adalah hasil dari terbuangnya lebih
banyak lembaran yang sama karena hal-hal mendasar yang diletakkan tak pada
tempatnya dan tak sesuai takdirnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar